Istilah toxic
positivity dalam sebuah hubungan saat ini sedang menjadi perbincangan yang
cukup seru. Sebab, tanpa disadari ternyata banyak orang yang sudah melakukannya
atau terperangkap di dalamnya.
Toxic
positivity memang tidak terlihat jelas seperti jenis hubungan toxic lainnya.
Tapi, dampak yang dihasilkan bisa lebih parah, lho.
Sebab, pelaku
dan korban dari toxic positivity bisa terperangkap selamanya dalam hubungan
tersebut tanpa menyadarinya. Hal ini tentu saja mengganggu kesehatan mental
orang-orang yang terlibat.
Memang
seperti apa toxic positivity dalam sebuah hubungan dan apa saja dampaknya?
Simak selengkapnya berikut ini.
Daftar Isi:
- Apa Sih yang Dimaksud Toxic Positivity?
- Bagaimana Toxic Positivity dalam Sebuah Hubungan?
- Apa Saja Dampak Buruk Toxic Positivity dalam Sebuah Hubungan?
- 1. Tidak Mau Mengungkapkan atau Malu Terhadap Emosi Sendiri
- 2. Timbul Rasa Terisolasi Secara Emosi
- 3. Menghindar Setiap Ada Masalah
- 4. Rawan Mengalami Stress Berlebihan
Apa Sih yang Dimaksud Toxic Positivity?
Toxic
positivity merupakan sebuah sifat yang meyakini mati-matian bahwa kita harus
terus berpikir positif dalam semua keadaan, meski dalam keadaan terburuk
sekalipun.
Orang yang
memiliki sifat toxic positivity memiliki kecenderungan akan selalu
memperlihatkan sisi positif dalam dirinya. Padahal sebenarnya mereka sedang
tidak baik-baik saja.
Mereka akan
sebisa mungkin membungkam emosi dan mengabaikannya begitu saja. Padahal,
sebagai manusia sangat normal untuk mengungkapkan emosi secara wajar atau
melakukan validasi atas emosi tersebut.
Misalnya saja
dengan mencurahkannya ke dalam bentuk katarsis, atau secara jujur mengatakan
kepada diri sendiri bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja.
Baca Juga: Mengenal Bentuk Katarsis, Hal Positif untuk Melepas Emosi
Lebih baik
lagi, kamu bisa meminta bantuan orang lain. Misalnya teman yang bisa dipercaya
atau bahkan tenaga profesional.
Dengan begitu
kamu dapat lebih mengenal diri sendiri, serta kamu mampu mencari solusi dari
masalah yang sedang dihadapi. Bukan hanya mengabaikannya dan menyembunyikannya
dibalik pikiran positif.
Bagaimana Toxic Positivity dalam Sebuah Hubungan?
Seseorang
yang memiliki sifat toxic positivity biasanya akan menarik orang lain juga
dalam “keyakinannya”. Tidak hanya acuh akan emosinya, mereka juga akan acuh
terhadap perasaan emosi orang lain.
Misalnya
adalah ketika pasangan atau sahabatnya menceritakan keluh kesah, emosi, atau
masalahnya, maka orang yang memiliki sifat toxic positivity hanya akan
mengajaknya berpikir positif atau justru adu nasib.
“Sabar ya,
kamu masih mending......”
“Mending
ambil sisi positifnya”
“Aku pernah
di posisi kamu, bahkan lebih berat.”
“kamu pasti
bisa kok. Lihat, orang lain aja bisa.”
“Sabar ya,
pasti ada hikmahnya kok.”
“Coba lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan.”
Atau berbagai
ucapan motivasi yang menghakimi dan membandingkan lainnya.
Memang
sekilas tanggapan di atas terdengar sangat baik. Tapi, bagi orang yang sedang
terkena masalah ucapan tersebut justru membuat kesal. Tidak heran toxic
positivity dalam sebuah hubungan berakibat buruk.
Saat
seseorang mengalami hal buruk yang membuat mereka emosi, sebenarnya mereka
memerlukan validasi atas perasaannya terlebih dahulu. Jika memang kamu memiliki
kemampuan membantu, maka bantu.
Ucapan
terlalu positif tanpa adanya solusi, justru akan mendorong seseorang menjadi
lebih sedih. Tidak jarang mereka justru mempertanyakan ‘apakah emosinya salah?’
atau pertanyaan-pertanyaan semacamnya.
Sehingga
orang tersebut akan terbawa ke lingkaran toxic positivity. Membungkam,
mengabaikan, hingga denial terhadap emosinya, yang padahal sangat manusiawi.
Pada dasarnya
setiap manusia tetap membutuhkan orang lain saat mengalami masalah. Entah hanya
sebagai pendengar, memotivasi tanpa menghakimi, atau untuk memvalidasi
perasaannya.
Apa Saja Dampak Buruk Toxic Positivity dalam Sebuah Hubungan?
Dampak buruk
adanya toxic positivity dalam sebuah hubungan tentunya sangat berbahaya,
terutama secara mental. Di antaranya adalah:
1.
Tidak Mau Mengungkapkan atau Malu
Terhadap Emosi Sendiri
Terlalu
memaksa atau dipaksa berpikir positif akan membuat kamu malu akan emosi
sendiri. Kamu akan merasa buruk jika sampai emosi tersebut keluar dan diketahui
orang sekitar.
Sehingga kamu
akan memendamnya sendiri dan kembali bersembunyi dalam pikiran positif. Justru,
hal tersebut membuat perasaanmu mengganjal.
Baca Juga: Merasa Insecure? Yuk, Kenali Jenis dan Cara Mengatasinya
Padahal jujur
terhadap perasaan, termasuk emosi sekalipun bukan hal yang salah. Asalkan kamu
mengungkapkannya dengan wajar dan sesuai norma.
2.
Timbul Rasa Terisolasi Secara Emosi
Toxic
positivity dalam sebuah hubungan akan membuat kamu terisolasi. Kenapa? Kamu
tidak bisa bebas mengungkapkan keluh kesah atau curhat masalah ke pasangan.
Sebagai gantinya, kamu akan selalu pura-pura tegar.
Hal ini
seolah memaksa kamu menjadi manusia super. Padahal, dalam sebuah hubungan
seharusnya bisa membuat nyaman untuk saling terbuka secara perasaan. Baik
perasaan bahagia maupun duka.
3.
Menghindar Setiap Ada Masalah
Adanya toxic
positivity dalam sebuah hubungan akan membuat kamu atau pasangan cenderung
menghindar setiap ada masalah. Hal ini sering sekali terjadi tanpa disadari.
Alih-alih
menyelesaikannya dengan baik-baik hingga sumber masalahnya terselesaikan, orang
dengan toxic positivity justru akan membuat semuanya seolah baik-baik saja.
Maksudnya
adalah mereka cenderung memilih tetap berpikir positif dibandingkan mencari
tahu alasan, penyebab, dan bagaimana menyelesaikan masalah tersebut hingga
benar-benar tidak ada yang mengganjal.
4.
Rawan Mengalami Stress Berlebihan
Dampak buruk
toxic positivity dalam sebuah hubungan berikutnya adalah kamu akan mengalami
stress yang berlebihan. Hal ini tentunya dipicu oleh berbagai masalah di atas
yang sebelumnya sudah disebutkan.
Jika kamu
merasa sebagai pelaku atau korban dari toxic positivity, maka mulai sekarang
coba untuk mengubahnya. Coba validasi setiap emosi yang kamu rasakan terlebih
dahulu.
Perlu diingat
bahwa toxic positivity dalam sebuah hubungan tidak hanya dalam hubungan sepasang
kekasih. Tapi terjadi juga dalam pertemanan, atau antara anak dan orangtua.
Baca Juga: 5 Jenis Overthinking Saat Quarter Life Crisis Ini Perlu Dihindari!